Di zaman yang semakin modern ini tidak dapat diyakini semua hal yang ada di planet kita ini aman. Salah satunya sediaan farmasi(sediaan obat). Dari hasil penelitian beberapa ahli menemukan beberapa efek samping dari sediaan farmasi. Dimulai dari ketidaknyamanan fisik maupun batin sang pasien, pemberian dosis, pembuatan sediaan farmasi itu sendiri, dan lain-lain.
Dan hal yang paling utama untuk kita sebagai muslim ialah kehalalan produk itu sendiri. Salah satu contoh sediaan farmasi yang menjadi hal yang kontroversial, ialah obat berbentuk puyer.
Beberapa waktu yang lalu obat puyer sempat menjadi perbincangan yang menarik, karena bahaya obat puyer sedang berusaha dikupas. Bahaya obat tidak hanya pada bentuk sediaan puyer, tetapi terjadi juga pada semua bentuk sediaan obat.
Perkara bahaya tentu ada tindakan profesi yang seharusnya diambil agar bahaya pemakaian bentuk sediaan puyer dapat ditekan. Dan anehnya dalam memperbincangkan bahaya sediaan puyer umumnya adalah dokter dan apoteker sangatlah jarang. Secara kompetensi seharusnya apotekerlah yang paling berhak membicarakan masalah bentuk sediaan puyer. Karena dari semua tenaga kesehatan ang ada, hanya apotekerlah yang mempelajari sifat kimia fisik bahan obat.
Tetapi kenyataannya tidak hanya apoteker yang membicarakan masalah bahaya sediaan puyer, sehingga terjadi kekhawatiran berlebih dari sebagian masyarakat. Puyer yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam ilmu pengobatan yang seharusnya menentramkan masyarakat, justru menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, karena dibahas dengan cara yang salah.
Banyak hal-hal yang seharusnya bukan permasalahan formulasi sediaan puyer, tetapi bentuk sediaan puyerlah yang menjadi kambing hitam. Sebagai contoh masalah polifarmasi.
Polifarmasi bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, karena polifarmasi adalah ketrampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep. Bahwa polifarmasi bukan salahnya sediaan farmasi bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.
Bila kita menginginkan polifarmasi tidak terjadi, maka solusinya adalah meningkatkan ketrampilan dokter. Bila ketrampilan dokter cukup dalam menghindari polifarmasi, maka tidak akan ada polifarmasi dalam sediaan puyer. Kecuali apoteker diberi kewenangan sampai merubah obat atau mengurangi obat. Masalah polifarmasi dinegara kita bukan masalah kefarmasian khususnya benutuk sediaan, tetapi masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan. Dan selanjutnya kontroversi masalah bentuk sediaan puyer terkait polifarmasi seharusnya tidak perlu terjadi lagi apalagi sampai pada pelarangan bentuk sediaan puyer.
Pada kaitan puyer dengan masalah kaidah kefarmasian seperti :
1. Stabilitas bahan obat;
2. Kebersihan ruangan;
3. Kebersihan alat;
4. Interaksi obat, dan sebagainya.
Memang masalah kefarmasian yang seharusnya memang menjadi bagian dalam kegiatan apoteker di apotek. Yang menjadi permasalahan disini adalah tidak hanya apoterker yang melakukan kegiatan pembuatan sediaan puyer ini. Dan secara umum bahasan yang terkait puyer ini juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lai bukan apoteker.
Dalam pembuatan puyer ada protokolnya, mulai dari penulisan resep sampai pembuatannya. Kalau protokol ini dipenuhi, puyer itu aman. Sebagai contoh, tidak semua obat boleh digerus menjadi puyer.
Obat yang didesain untuk larut perlahan di lambung akan hilang kemampuannya uuntuk larut secara perlahan jika digerus, karena itu tidak boleh diracik menjadi puyer. Karena dalam proses pembuatan puyer ada tahap membagi dan memasukkan ke dalam bungkusnya (sediaan), maka obat yang diracik ke dalam bentuk puyer tersebut tidak boleh dari golongan yang batas keamanannya sempit.
Artinya, dosis tidak harus persis sama, selisih beberapa mg (Miligram) tidak menyebabkan perubahan yang bermakna. Obat yang batas keamanannya sempit seperti, golongan digitalis tidak boleh dibuat puyer (karena selisih nol koma sekian mg saja efeknya bisa berbeda ataupun bisa sangat berbahaya). Selain itu, tidak sembarang obat boleh dicampur menjadi satu (jangankan dicampur dalam bentuk puyer). Beberapa obat tertentu meskipun tetap dalam bentuk aslinya belum tentu boleh diminum secara bersamaan.
Polemik seputar bentuk sediaan puyer minimal memiliki 2 dimensi masalah, yaitu proses pembuatan atau peracikan dan kerasional kombinasi obat-obat yang ada didalamnya. Kedua masalah tersebut diangkat secara bersamaan dengan kecendrungan untuk bentuk sediaan tersebut dalam dunia pengobatan di Indonesia. Dengan mendudukkan masalah pada proporsi yang semestinya, polemik tentang puyer menyadarkan kita bahwa pekerjaan farmasi memang perlu diatur lebih kongkrit. Sesuai pasal 63 UU no. 23/1992 tentang kesehatan, dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan pemerintah perlu menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian.
Selain itu kita juga harus memperhatikan bahan tambahan yang mungkin terdapat di sediaan obat tersebut. Jangan sampai melebihi dosis, dan tentu saja kehalalan sediaan obat tersebut. Sudah banyak contoh obat yang sangat berkhasiat tetapi dipertanyakan kehalalannya. Sebagai farmasis dan apoteker masa depan kita harus memikirkan kehalalan obat maupun sediaannya.
Komentar
Posting Komentar